Peraturan menteri (Permen) mengenai outsourcing baru diteken oleh Menteri
Tenaga Kerja dan Transmigrasi
Muhaimin Iskandar minggu lalu. Diberitakan bahwa outsourcing hanya boleh terbatas pada lima macam pekerjaan yaitu jasa kebersihan, keamanan, katering, transportasi, dan pertambangan dan migas.
Nah, bagaimana dengan IT? Menurut Pak Menteri, selain lima jenis pekerjaan tersebut, perekrutan adalah dengan pola pemborongan yang menggunakan sub-kontrak perusahaan atau Perjanjian Kerja Waktu Tertentu.
Apakah artinya semua jasa yang menggunakan mandays (time & materials) tidak lagi diperbolehkan?
Menurut pemahaman saya, maka apabila sebuah perusahaan mencharge fixed fee yang dihitung di awal berdasarkan estimated mandays atau manhours, itu OK.
Namun, apabila sebuah perusahaan mencharge fee berdasarkan mandays atau manhours yang telah dikerjakan karyawannya dan dihitung belakangan, itu tidak OK.
Merupakan praktek wajar di dunia IT untuk sebuah perusahaan mencharge secara periodik (misalnya bulanan) berdasarkan mandays atau manhour yang telah dikerjakan oleh engineernya selama periode tersebut. Dan kalau berdasarkan peraturan ini berarti praktek wajar ini sebetulnya tidak lagi diperbolehkan!
Untuk mensiasatinya, sepertinya mudah, hanya perlu merubah sedikit kontrak dengan client yang tadinya time & material menjadi borongan (fixed-fee), namun dengan klausal refund atau extra charge tergantung dengan mandays yang akhirnya dikerjakan. Saya bukan orang hukum tentunya maka saya memang telah berkonsultasi dengan Aspiluki mengenai ini.
Anyway, peraturan baru ini terkesan kurang memperhitungkan industri IT (dan industri lain yang memang kecil dibanding industri manufakturing).
Seperti banyak peraturan lainnya, bila sebuah peraturan tidak logis maka tidak akan diikuti oleh pelaku industri.
Saya berharap akan ada revisi terhadap Permen ini. Outsourcing itu menurut saya tidak haram, asal dipraktekkan dengan hati nurani, baik oleh perusahaan penyedia jasa maupun perusahaan pengguna.
***